Setiap orang pasti memiliki kenangan dan memori kuat tentang bulan Ramadan. Selain tentu penuh berkah, bulan Ramadan punya keseruan tersendiri bagi umat muslim di Indonesia. Berbagai aktivitas unik dan sarat makna banyak berlangsung di bulan suci tersebut. Mulai dari usia anak-anak hingga orang dewasa memaknai dan menikmati bulan penuh ampunan itu dengan cara yang berbeda-beda.
Tak terkecuali bagi Firdaus Gameda, seorang komikus asal Desa Tegalan, Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri. Dia berusaha menghadirkan nuansa Ramadan era 80 an dalam bentuk gambar.
"Ramadan yang berjalan tahun demi tahun akan terasa berbeda-beda. Bahkan saat ini banyak aktivitas Ramadan yang hilang karena kemajuan zaman dan situasi kondisi. Berbeda dengan zaman saya dulu. Makanya saya mau nostalgia. Menghadirkan seru dan khidmatnya Ramadan," tuturnya sembari tersenyum.
Ramadan tahun ini, pria yang akrab disapa Firda itu setidaknya merampungkan satu gambar di atas kertas berukuran A3 dalam waktu 4 hari sekali. Dia menggambarkan dirinya, teman-temanya, hingga suasana pada tahun 1980 an saat dia berusia sekitar 10 tahun. "Yang saya gambar adalah diri saya, teman, dan latar suasana tempo dulu. Saat teknologi belum berkembang secepat ini," katanya.
Dia bercerita tentang kenangan Ramadan pada masa kecilnya. Saat itu bulan Ramadan tiba bersamaan dengan musim panen raya tebu. Pada siang hari dia dan teman-temannya berlarian di ladang untuk mencari tebu. "Saat itu jalan Kediri-Blitar ada lorinya. Saya dan teman-teman berebut tebu yang jatuh di jalan. Nantinya tebu itu saya kupas sebagai takjil berbuka puasa," kenangnya.
Pada siang hari, anak-anak seusianya dulu senang memanjat pohon yang berbuah. Menikmati udara khas pedesaan. Ketika sore tiba banyak yang bermain layang-layang menunggu waktu berbuka puasa. "Siang manjat pohon kersen. Sore orang-orang desa istilahnya golek sore (mencari sore) duduk santai menghadap ke arah matahari terbenam sambil menikmati semilir angin desa dan itu dilakukan ramai-ramai. La ya itu, sore kok dicari, ya pasti lama. Kalo sekarang istilahnya ngabuburit, tinggal main gawai tak terasa sudah magrib," ungkapnya.
Suasana Ramadan di pedesaan juga kental terasa ketika malam tiba. Setelah berbuka puasa anak-anak di masa itu keluar dari rumah dengan mengenakan celana pendek berkalungkan sarung. Mereka saling menghampiri satu sama lain, pergi bersama untuk salat tarawih. Biasanya setelah tarawih mereka akan berkumpul untuk bercerita dan tidur bersama.
"Kalau sudah gitu, pasti ramai. Tengah malam akan bangun dan ronda bersama membangunkan sahur. Rondanya bawa gerobak berisi pengeras suara sederhana. Ada juga yang bawa kentongan yang dibunyikan sebagai alat membangunkan sahur warga," ujarnya.
Beberapa cerita seru itulah yang dijadikan bahan bernostalgia. Mengenang keping-keping masa lalu tentang Ramadan yang takkan pernah terulang dan menuangkannya dalam sebuah gambar. "Saya gambar apa yang menjadi kenangan kecil saya," katanya.
Setelah menggambar suasana Ramadan berlatar kenangan puluhan tahun lalu, dia mengunggah gambaran tersebut di akun media sosialnya. Dia tak menyangka jika karyanya itu banyak yang suka. Ratusan netizen banyak yang berkomentar. Bahkan ada yang mengaku meneteskan air mata haru. "Gambaran saya ratusan kali dibagikan, like-nya lebih dari 5 ribu. Semua terbawa oleh narasi dan gambaran saya akan masa lalu," ucapnya.
Firda juga mengungkapkan, karyanya tentang suasana Ramadan di pedesaan pernah laku terjual. Dia mengaku dihubungi pembeli melalui pesan singkat di media sosial.
"Ada yang inbox saya. Mau beli gambar saya. Tapi harganya dia yang menentukan. Pembeli bercerita dia tak punya banyak uang. Bahkan pembelian juga dilakukan dengan cara mengangsur. Ternyata gambaran saya mau dibuat terapi untuk penyembuhan penyakitnya," ungkapnya.
Dia mendeskripsikan, hasil gambarannya yang laku itu adalah pemandangan desa saat malam hari. Dua anak berkalung sarung berdiri di antara pohon rindang yang disinari terangnya rembulan dan banyak kunang-kunang berterbangan. "Suasana yang saya gambar dulu banyak dijumpai di pedesaan karena belum adanya aliran listrik. Kini pemandangan yang saya gambar sudah punah. Hampir di setiap sudut desa sudah banyak lampu penerangan," katanya.
Selain itu, gambarnya tentang suasana Ramadan pernah dibagikan oleh seorang dokter yang menangani Covid-19 di Yogyakarta. Dia menuturkan, sang dokter membagikan gambarnya disertai dengan komentar 'Masa ini takkan terulang kembali. Saya segar dan refresh setelah melihat gambar ini'. "Dokter tersebut berteman dengan akun facebook saya. Dia merasa pada titik jenuh saat menangani Covid-19. Dengan berbagai rasa anehnya, semua hilang seketika setelah melihat gambaran saya. Dokter itu juga berterima kasih dan dia merasa semangatnya hadir kembali," ujarnya.
Gambar yang dibagikan sang dokter itu yakni bangunan masjid dengan suasana pedesaan. Ada dua remaja memakai songkok berdiri dan duduk di depan masjid memandangi bulan purnama. "Padahal gambarannya sederhana dan hitam putih tanpa warna. Namun yang tidak saya sangka bisa membawa perasaan orang untuk bernostalgia dan membangun semangatnya," ucapnya.
Rencananya, pekan ini dia akan kembali suasana Ramadan tempo dulu. Dia akan menggambar sebuah galah yang dipasangi pengeras suara dan kabel yang menjuntai ke bawah tersambung pada aki dan tape recorder. Gambaran ini akrab dengan suasana Ramadan tahun 1980 an. Saat sore tiba, ada pengeras suara menggunakan aki untuk memutar kaset lagu-lagu kasidah. Saat itu aki digunakan karena belum adanya aliran listrik.
Dia menyebut, gambar-gambar itu dibagikan dengan dilengkapi narasi. Narasi yang dia tuliskan berdasarkan pengalaman dan ungkapan isi hati yang terdalam. Tak heran jika pembaca dan penikmat gambar terbawa alur nostalgianya. "Komentar bertuliskan tetesan air mata banyak membanjiri karya saya. Awalnya penikmat melihat gambar saya dan banyak yang tertarik. Ketika mereka tertarik akan terbawa untuk membaca narasi yang saya tuliskan," katanya. (*)