Kala Pandemi Menghantam Kelompok Seni Tradisional, Job Melayang, Sabar Menanti untuk Kembali Berkreasi - Romansa Bening

Breaking

Kala Pandemi Menghantam Kelompok Seni Tradisional, Job Melayang, Sabar Menanti untuk Kembali Berkreasi


Pandemi Covid - 19 menghantam berbagai sisi aktivitas masyarakat, termasuk seniman tradisional yang tegabung dalam kelompok ludruk dan campursari Panca Wijaya. Selama 1 tahun aktivitas berkesenian mereka terhenti dan sabar menanti hingga pandemi usai untuk kembali berkreasi.

Tak lagi ada pertunjukan maupun jadwal  manggung menampilkan kreasi seni memang menjadi konsekuensi penanganan pandemi. Ini untuk mencegah kerumunan yang berpotensi menjadi sumber penularan virus corona.

"Sejak saat itu, semua job yang masuk otomatis batal. Padahal jadwal manggung sudah tersusun padat," kata Suparno, pemilik kelompok kesenian Ludruk dan Campursari Panca Wijaya.

Dia menceritakan, awal tahun 2020, sebenarnya banyak orang yang datang ke markas kelompok ludruknya di Desa Sambirejo, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Mereka datang untuk melakukan order jasa manggung ludruk dan campursari. "Terhitung awal bulan pada tahun 2020 sudah ada 11 jadwal orderan manggung. Semua sudah dijadwalkan, bahkan beberapa sudah membayar uang muka. Namun, Covid-19 melanda dan dilarang ada acara besar, semua otomatis batal," ceritanya.

Suparno menyebut, tahun 2020 orderan yang masuk meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dia menuturkan, sebelum pandemi grup ludruknya biasanya  mendapatkan 8 hingga 9 kali manggung dalam satu tahun. Sedangkan di awal tahun 2020 sudah tercatat 11 kali rencana manggung. Waktu itu dia memperkiran job yang diterima masih bisa meningkat. "Berbagai daerah suka dengan grup ludruk kami. Mulai dari Malang, Ponorogo, dan hampir semua daerah di Jawa Timur pernah menggunakan jasa kami," kata pria kelahiran 1959 itu.

Kelompok Ludruk dan Campursari Panca Wijaya berdiri sekitar tahun 2008 silam. Dalam grup ini ada sekitar 40 orang hingga 50 orang seniman tradisional. "Ada yang jadi pemerah utama, pemeran figuran, paduan suara, penyanyi, ngremo, dan berbagai bagian yang ada di pagelaran ludruk," ujar Triana Angraini, isteri Suparno.

Para seniman tradisional yang menjadi anggota  berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur mulai dari Nganjuk, Malang, Kediri, hingga Ponorogo. Para anggota tersebut akan dihubungi via ponsel ketika ada jadwal manggung. Semua akan berkumpul di markas untuk berangkat bersama menuju lokasi pementasan. "Saya, suami, dan cucu juga dapat peran pementasan ludruk," tuturnya.

Dia menjelaskan, anggota yang ikut rentang usianya mulai dari 16 tahun hingga 61 tahun. Rentang usia yang tak sama memudahkan untuk membagi tugas dan penokohan. "Semua kami usahakan sesuai usianya agar bisa menjiwai dalam penampilan. Misal ada cerita yang membutuhkan peran kakek-kakek, dari situ kami carikan yang usianya sepadan biar make upnya natural," katanya

Biasanya, dalam sekali manggung grup ludruk tersebut mematok uang manggung Rp 17 juta hingga Rp 20 juta. Hasil manggung tersebut, langsung dibagi dengan semua anggota yang ikut dalam pementasan. 

"Ada tiga bagian penerimaan hasil. Kami membagi denga istilah A,B, dan C. Biasanya bagian A mendapatkan Rp 750 ribu. Bagian A ini biasanya diisi oleh pelawak dan pemeran tokoh utama. Bagian B mendapatkan  Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu. Bagian B ini terdiri dari pemeran wayang orang. Sedangkan golongan C adalah pemerah figuran, paduan suara, dan pembantu lainnya. Mereka biasanya mendapat bagian Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu," ujar wanita kelahiran 1962 itu.


Dalam perjalanan mereka, banyak pengalaman yang sudah dilalui. Hampir semua pementasan, cerita yang dibawakan merupakan permintaan dari penyewa. "Tinggal kami yang menyesuaikan bahan lawakan dan pesan moralnya," ujarnya.

Menurutnya, inovasi dan kesegaran tema menjadi kunci utama suksesnya pagelaran. "Kami selalu mengemas penampilan dengan bahan isu kekinian. Misal waktu pilkada, bahan yang kami sajikan tak jauh dari hal yang sedang banyak dibicarakan soal pilkada. Mungkin setelah kini boleh manggung, bahan utama yang akan kami kemas adalah virus corona," katanya.

Triana dan suaminya berharap Covid-19 segera berlalu. Selama pandemi setahun terakhir, dia dan suaminya hanya mengandalkan pendapatan dari berjualan makanan di warung dan membuka jasa jahit. "Terselip keinginan yang terdalam, jika Covid-19 masih mewabah, kami mohon kepada pemerintah agar ada sedikit kelonggaran. Mungkin, pagelaran dibolehkan kembali berkreasi. Namun dengan menerapkan protokol kesehatan," ungkapnya.(*)