Serka Trijoto Pristiwawan dan Upaya Pemanfaatan Pohon Mojo (1)
Terkenal tapi kurang diperhatikan dan dimanfaatkan. Itulah kesan yang tepat untuk pohon mojo. Meski pohon itu sudah dikenal sejak zaman dulu namun keberadaannya belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono yang juga sebagai arkeolog menuturkan, ada 3 jejak yang dapat digunakan untuk melacak fakta pohon mojo. Diantaranya, keberadaannya, toponimi atau kata yang digunakan sebagai nama daerah, dan sejarahnya.
"Khususnya di Jatim, penyebaran pohon mojo ini banyak sekali. Pohon ini habitatnya di Jawa, dia mudah hidup asalkan tidak terlalu kering, seperti di daerah gunung kapur dan lereng. Dia banyak hidup di tempat-tempat cukup air seperti daerah aliran sungai (DAS) atau daerah cekungan yang airnya melimpah," tuturnya.
Dikatakan, saat ini pohon mojo banyak juga ditanam di tempat tertentu sebagai penanda atau menambah kesan sejarah. Hal itu disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang berasumsi keberadaan pohon mojo yang berkaitan dengan Kerajaan Majapahit.
"Kalau sekarang lebih memorial, misalnya di anggap sebagai tanaman bersejarah yang dihubungkan dengan Majapahit. Seperti di museum, candi dan tempat tempat bersejarah lainnya. Jadi untuk memberikan kesan sejarah," ujarnya.
Sedangkan berdasarkan jejak toponimi dari pohon mojo dikatakan, sejauh ini banyak sekali kata mojo yang digunakan untuk nama daerah. Seperti Kelurahan Mojolangu dan Lokmojo di Malang, Kecamatan Mojosari, dan Kota Mojokerto.
"Bukan berarti pohon mojo ini hanya ada di Mojokerto, di daerah lain juga ada. Bahkan di Kediri itu ada Mojo, itu di pinggir Brantas. Di sepanjang DAS Brantas itu, desa desa yang bernama mojo banyak sekali," paparnya. "Di DAS Brantas itu banyak tumbuh pohon mojo. Kalau kita bandingkan di DAS Bengawan Solo yang panjang itu, desa bernama mojo tak sebanyak di DAS Brantas. Jadi boleh dibilang habitatnya di DAS Brantas," tambahnya.
Berdasarkan jejak sejarah, Dwi menjelaskan, pohon mojo banyak ditemui di dalam prasasti dan susastra. Dikatakan, keberadaan pohon mojo memang menjadi latar belakang nama Kerajaan Majapahit.
Dwi menyebutkan, dalam sejarah lisan maupun tertulis, setelah tumbangnya Kerajaan Singasari oleh Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri, Raden Wijaya meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja yang merupakan arsitektur politik pada masanya di Songhenep yang sekarang bernama Sumenep, Madura. Kemudian Arya Wiraraja memberikan petuah kepada Raden Wijaya untuk berkunjung ke Kerajaan Kadiri untuk menyatakan tunduk dan mengakui kekalahannya. Namun itu semua dilakukan sebagai strategi atau taktik dalam merebut kembali kekuasaannya. "Jadi Raden Wijaya beraudiensi ke Jayakatwang sebagai taktik dengan menyatakan takluk atau menyerahkan diri. Tapi dengan meminta area lahan untuk membuat suatu permukiman kecil," ujarnya.
Kemudian Jayakatwang mengabulkan permintaan Raden Wijaya dengan memberikan lahan di hutan trik atau hutan tarik yang berada di Sidoarjo. Selanjutnya, Raden Wijaya membuka permukiman di hutan itu dengan dibantu pengikutnya. Ketika membangun permukiman itu, pengikut Raden Wijaya kehausan dan menemukan pohon mojo yang berbuah lebat yang tampak segar. Mereka mengira buah mojo seperti jeruk bali atau semangka. "Mereka menyangka setelah dibuka seperti jeruk bali atau semangka. Setelah dibuka dan dimakan, ternyata pahit rasanya. Hal itulah yang kemudian memunculkan unsur toponimi buah maja yang rasanya pahit dan kemudian melatar belakangi nama Kerajaan Majapahit," tuturnya.
Sayangnya di masa sekarang, keberadaan pohon mojo hanya dipandang remeh. Nama besarnya seolah tak lagi terdengar. Pohon – pohon itu dibiarkan tumbuh begitu saja dan hanya sedikit orang yang mengambil manfaat darinya. Inilah yang mengetuk keprihatinan Serka Trijoto Pristiwawan. Anggota TNI yang tinggal di Desa Mlati, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri berupaya menjaga kelestarian pohon mojo yang tumbuh subur di sekitar tempat tinggalnya.
Di sisi lain, pria yang bertugas sebagai babinsa Desa Tambibendo, Kecamatan Mojo itu khawatir, kecamatan yang berada di wilayah barat Sungai Brantas itu kehilangan identitas akibat makin berkurangnya pohon mojo. “Jadi, sayang sekali kalau pohon mojo ini malah ditebangi atau dipindahkan keluar daerah. Pohon ini seharusnya malah banyak ditanam di wilayah Kecamatan Mojo yang sering terjadi tanah longsor ketika musim hujan tiba,” katanya.
Dari keprihatinan tersebut dia berusaha mempertahankan kelestarian pohon mojo. Berbagai usaha dia lakukan demi mempertahankan keberadaan pohon mojo di lingkungannya. Mulai dari swadana dengan rekan-rekannya untuk memulai memperbanyak bibit tanaman yang itu. “Pohon ini bandel, memiliki daya tahan yang luar biasa. Mudah tumbuh di berbagai medan. Selain itu, memperbanyak tanaman juga bisa dengan berbagai macam cara. Mulai dari tanam biji, stek batang, hingga pencangkokan,” ucapnya.
Dia berencana untuk mengajukan penanaman pohon mojo di sepanjang jalan desa menuju tempat wisata. Menurutnya, dengan menanam pohon mojo akan menambah kesejukan udara pegunungan. Selain itu, jalan akan rindang dan buah mojo juga bisa dimanfaatkan.
Bibit pohon mojo juga bisa ditanam di lereng-lereng dekat jalan raya yang rawan dengan tanah longsor. “Kalau nanti pohonnya banyak, bisa menjadi citra tersendiri, ternyata ada banyak mojo di Kecamatan Mojo,” tutur bintara berusia 48 tahun itu.(bersambung)