Tegar : Riyati (kanan),korban penyiraman air keras bertahan hidup untuk membesarkan anak - anaknya (foto/vree) |
Riyati tidak menyangka,perkawinannya akan membawa bagi petaka bagi dirinya. Namun,setelah setahun berselang,ia justru bersyukur peristiwa pahit itu membawanya pada kebebasan dari cengkeraman suami yang temperamental.
------------
Siang itu,suasana rumah Riyati di RT 1/RW 2 Desa Pohrubuh Kecamatan Sepi Kabupaten Kediri terlihat sepi. Hanya terlihat beberapa anak kecil yang bermain di depan rumah. Ketika pintu diketuk,dari dalam rumah keluarlah Riyati. Dengan ramah,perempuan berusia 31 tahun itu mempersilakan Surya masuk.
Sekilas tidak ada yang aneh pada diri Riyati. Ibu tiga anak itu terlihat layaknya perempuan lainnya. Namun ketika diamati,di kedua lengannya tampak luka bekas melepuh yang cukup panjang. Begitujuga di bagian matanya,terlihat luka seperti bekas terbakar. “Saat melihat luka ini,saya selalu teringat peristiwa itu,”ujar Riyati.
**
Saat itu bulan Januari 2010. Pendik,suami Riyati baru pulang dari Flores. Tak disangka,kepulangan Pendik membuka babak baru dalam perjalanan hidup Riyati. Bukannya membawa kebahagiaan,kepulangan Pendik justru membawa prahara dalam biduk rumah tangganya. Entah apa alasannya,Pendik menuduh Riyati telah mendua selama kepergiannya. Akibat tuduhan itu,merekapun sering terlibat cekcok.
Puncaknya, ketika percekcokan memuncak,tiba - tiba Pendik menyiramkan air keras ke tubuh istrinya lalu bergegas kabur. Riyati sendiri terkejut atas aksi itu. Dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya,Riyati langsung berusaha mendapatkan pertolongan medis. “Waktu itu saya berpikir saya harus bertahan hidup,saya tidak boleh menyerah,makanya saya langsung lari ke puskesmas,”kenang Riyati.
Riyati segera mendapat penanganan medis. Setelah sempat di rawat ke puskesmas setempat,Riyati kemudian dirujuk ke RSUD Pare. Waktu itu,dokter mendiagnosa siraman air keras telah mengenai sejumlah bagian tubuh dengan jarak 5 mili dari jaringan kulitnya. Ia pun mendapat penanganan medis untuk mengembalikan kesembuhan lukanya. “Pengobatannya panjang,saya butuh waktu 6 bulan untuk penyembuhan,”imbuhnya.
Pengobatan panjang yang telah dilaluinya tidak serta merta membuat mantan karyawati PT Gudang Garam terlepas dari beban hidup. Usai pengobatan itu,dampak siraman air keras justru muncul dalam bentuk infeksi. Bahkan infeksi itu terbilang parah hingga ia harus menjalani rawat inap selama satu minggu. “Awalnya saya merasa badan saya tidak enak. Lalu dari sekitar hidung keluar nanah. Selama seminggu saya hanya diam di rumah. Setelah tidak sembuh - sembuh,akhirnya saya bawa ke rumah sakit dan harus opname,”tambah Riyati.
Riyati sempat menyinggung proses pengobatannya yang tidak tuntas. Pasalnya,ia tidak punya biaya untuk memulihkan bekas luka yang dideritanya seperti sediakala. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak mampu membiayai operasi plastik yang disarankan oleh dokter yang menanganinya. Iapun beralih menggunakan pengobatan herbal tradisional yang lebih murah untuk memutihkan bekas luka bakarnya itu.
Tidak hanya sampai disitu. Peristiwa penyiraman air keras yang dialaminya,membuat Riyati menanggung bebas kejiwaan yang besar. Sampai saat ini,Riyati masih trauma jika melihat api atau air panas. Riyati juga merasa tidak percaya diri atas kondisi tubuhnya saat ini.
Hal ini membuatnya tidak bisa leluasa bergaul. Riyati sekarang lebih memilih berdiam di rumah dan jarang keluar. Ia hanya menemui tamu - tamu yang sudah dikenal. Kondisi ini juga membuatnya sulit mencari kerja. Akibatnya,sampai sekarang Riyati tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia hanya bekerja seadanya di rumah. Praktis,biaya hidup bagi ketiga buah hatinya,yaitu Haikal (13),Aden (12) dan Nana (11) digantungkan pada keluarga besarnya. “Untuk biaya sekolah tidak terlalu berat karena anak - anaknya bersekolah di SMP negeri. Kalau untuk biaya hidup sehari - hari,saya dibantu saudara - saudara. Mau bagaimana lagi,saya sudah tidak bekerja,”katanya.
Dalam kondisi seperti ini,ia menyadari arti penting keluarga. Bahkan menurutnya,keluargalah yang sangat berperan sehingga membuatnya dapat bertahan hidup. “Saya bersyukur punya keluarga dan teman - teman yang selalu mendorong dan menyemangati saya sehingga bisa keluar dari krisis itu,”ujarnya dengan mata berkaca - kaca.
Meski boleh dibilang mengalami cacat berupa bekas luka bakar yang tidak mungkin hilang,namun Riyati bersyukur atas peristiwa itu. Dengan peristiwa itu,ia bisa terlepas dari suami yang temperamental. “Tidak apa - apa saya harus menanggung luka seperti ini asalnya hidup saya tidak lagi terkungkung dengan suami yang temperamental,”tandasnya.
Peristiwa itu juga membuatnya lebih bijak menyikapi situasi di sekitarnya,terutama masalah di dalam keluarga. Menurutnya,kasus yang pernah menimpanya,terjadi karena kurangnya komunikasi antar suami istri sehingga masing - masing menjadi emosional dan berpikir pendek.
Hal itu pulalah yang menurutnya menyebabkan terjadinya kasus serupa,misalnya penyiraman air keras di Malang yang menewaskan istri pelaku. “Saya heran,kok tega suami berbuat seperti itu,kok seenaknya sendiri main kasar. Apa tidak bisa dirundingkan baik - baik ? Apa mereka tidak berpikir kalau masalah seperti ini yang rugi pasti pihak perempuan ? Harusnya suami itu bisa berpikir lebih panjang,tidak emosian,”katanya.
Sewaktu mendengar banyaknya kasus penyiraman air keras oleh suami pada istrinya,Riyati merasa miris. Berita - berita itu membuatnya kembali teringat peristiwa serupa yang pernah menimpanya. Tapi kesedihannya justru tertuju pada korban penyiraman air keras. Ia membayangkan bagaimana rasanya ketika pertama mengalami luka bakar. Ia juga membayangkan susahnya perjuangan yang harus dilakukan para korban untuk bisa survive. Ia berharap para korban penyiraman air keras bersabar dan tidak mudah menyerah atas kondisi hidupnya. “Saya merasa senasib dengan para korban karena saya pernah merasakannya sendiri. Saya kasihan membayangkan bagaimana mereka harus berjuang mulai dari awal karena itu tidak mudah,”ujarnya sambil menghela nafas panjang.
Riyati juga mengaku tidak menyimpan dendam atas perbuatan mantan suaminya. Ia menganggap dendam hanya akan membelenggunya untuk bisa melangkah maju. Saat ini,ia memilih mengembalikan kepercayaan dirinya agar bisa kembali mengasuh ketiga anaknya dengan baik,termasuk mencukupi kebutuhannya. “Menyimpan dendam tidak ada gunanya. Lebih baik saya berusaha agar hidup saya kembali normal,”katanya.
(Laporan : Vrian Triwidodo)