SUROAN DI PETILASAN JOYOBOYO - Romansa Bening

Breaking

SUROAN DI PETILASAN JOYOBOYO

*Warga Berebut Kembang Kanthil Yang Dianggap Sakral
Kirab - Iring-iringan remaja berpawai dari balai desa Menang menuju petilasan Joyoboyo menyambut datangnya bulan Suro (foto / vree)


Ritual kirab pusaka Kerajaan Kediri kembali digelar di Petilasan Raja Joyoboyo Desa Menang Kecamatan Pagu. Selain mengikuti acara dengan khidmat,ratusan ribu warga juga ngalap berkah dari kembang kanthil yang digunakan untuk nyekar di tempat yang diyakini sebagai lokasi moksanya raja Kediri itu.
-----------------
      Pagi itu,Minggu (27/11),sekitar 50 remaja laki - laki dan perempuan tampak berjajar rapi di depan pendopo balai Desa Menang Kecamatan Pagu. Puluhan remaja yang kesemuanya mengenakan busana tradisional Jawa itu tampak serius mendengarkan penjelasan dari sesepuh desa.
      Remaja pria mengenakan beskap berwarna biru membawa payung tradisional. Sedangkan remaja putrid membawa nampan berisi bunga setaman. Mereka tidak sedang terlibat dalam acara hajatan. Remaja yang kebanyakan masih duduk di bangku SMP itu akan mengikuti kirab pusaka menuju petilasan Sri Aji Joyoboyo,raja Kediri yang termasyur karena ramalannya.
      Kirab pusaka memang menjadi agenda tahunan yang rutin digelar setiap tanggal 1 pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa yang dianggap sakral. Barisan remaja itu akan mengantarkan sebuah tombak yang diyakini menjadi pusaka Kerajaan Kediri tempo dulu,yang dikenal dengan nama Kyai Bima ke lokasi petilasan Sri Aji Joyoboyo sejauh dua kilometer.
      Dengan berjalan tanpa alas kaki,iring-iringan remaja itu tampak khidmat mengiringi peletakan pusaka di areal yang diyakini sebagai lokasi moksa Sri Aji Joyoboyo. Setelah doa - doa dipanjatkan oleh sesepuh desa,sebanyak 15 gadis cilik yang juga termasuk dalam barisan remaja itu,selanjutnya akan menaburkan bunga setaman di areal petilasan.
      Juru kunci petilasan Joyoboyo,Suratin mengatakan,kirab pusaka ini merupakan peninggalan tradisi leluhur yang sudah berlangsung sejak dulu. Kirab ini menggambarkan kejayaan Kerajaan Kediri yang diyakini dulunya berpusat di Desa Menang. Seperti halnya tradisi jamasan pusaka yang kerap digelar ketika datangnya bulan Suro,kirab pusaka ini juga bentuk penghargaan terhadap warisan nenek moyang. “Pusaka Kyai Bima ini menjadi simbol kebesaran Kerajaan Kediri. Kirab pusaka ini diharapkan kembali mengingatkan warga tentang kejayaan adat dan budayanya,”katanya.
      Joyoboyo sendiri,kata Suratin,merupakan salah satu raja Kediri yang paling terkenal,karena kesaktian dan kepiawaiannya dalam memerintah rakyatnya sekitar abad XI. Salah satu bukti kesaktiannya berupa ramalan yang disebut jongko Joyoboyo. Ramalan Joyoboyo itu banyak mengupas tentang sosok penguasa negeri dan kondisi masyarakat yang banyak terbukti kebenarannya. Tidak heran,bagi masyarakat Kediri khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya,sosok Joyoboyo menjadi tokoh disegani. Petilasan yang dipercaya menjadi tempat moksa (meninggalkan alam fana beserta jiwa raganya) Joyoboyo selalu ramai diziarahi. Kebanyakan para peziarah seringkali menggelar ritual yang dimaksudkan untuk memohon berkah dari Tuhan melalui sosok Joyoboyo. “Eyang Joyoboyo hanya menjadi perantara. Doa yang terutama tetap ditujukan pada Tuhan,”imbuh Suratin.
      Mengalirnya peziarah ke petilasan Joyoboyo semakin memuncak saat bulan Suro. Pasalnya bulan Suro dianggap sebagai bulan paling baik untuk melakukan ritual di tempat - tempat yang disakralkan. Tak ayal,kirab pusaka di petilasan Joyoboyo pun menyedot perhatian masyakarat. Tidak hanya warga sekitar Kediri,melainkan juga peziarah lain hingga luar provinsi,seperti Jogja dan Jakarta.
      Kepala Desa Menang,Warsidi mengatakan,dari tahun ke tahun,jumlah peziarah yang mengikuti kegiatan kirab pusaka di petilasan Joyoboyo cenderung meningkat. Untuk tahun ini,tidak kurang dari 200 ribu orang yang mengikuti kirab ini. “Setiap tahun memang jumlah peziarah naik. Ini tentu sangat menggembirakan karena budaya asli ternyata masih diminati oleh masyarakat,”ujarnya.
      Membludaknya jumlah peziarah memang terlihat ketika berlangsungnya kirab dan ritual di komplek petilasan. Mereka memadati jalan yang menjadi rute kirab hingga beberapa kali petugas perlindungan masyarakat (linmas) dibantu aparat kepolisian harus menghalau mereka agar tidak menghalangi jalan. Mereka juga terlihat memenuhi bagian samping komplek petilasan untuk bisa melihat langsung prosesi ritual.
      Seorang peziarah asal Lumajang,Benyamin mengungkapkan,ia datang ke petilasan Joyoboyo bersama keluarganya karena merasa tertarik dengan agenda suroan. Apalagi tidak dipungkiri pamor Joyoboyo sebagai seorang raja besar dengan keampuhan ramalannya semakin membuatnya penasaran untuk bisa melihat secara langsung prosesi ritual tersebut. “Saya baru pertama ini melihat kirab. Saya penasaran karena ramai sekali. Saya bersama keluarga juga ingin melihat langsung peninggalan Joyoboyo yang terkenal,”ujarnya.
      Yang menarik,kehadiran ratusan ribu peziarah ini tidak hanya untuk mengikuti jalannya ritual. Pasalnya,mereka justru menunggu saat - saat akhir rangkaian prosesi agar bisa memasuki komplek petilasan dan mengambil bunga melati dan kanthil yang menjadi salah satu uborampe ritual. Maka,ketika prosesi berakhir dan gerbang petilasan dibuka,serta merta para peziarah berhamburan. Mereka berebut mengambil bunga melati dan kanthil yang berserakan di lantai petilasan.
      Salah satu peziarah,Suroto yakin bunga melati dan kanthil itu memiliki daya kekuatan yang berasal dari doa - doa dan niat yang dipanjatkan selama ritual berlangsung. Bunga melati dan kanthil diyakini memiliki keampuhan sehingga hajatnya bisa terkabul. “Khasiatnya bisa untuk segala hajat misalnya untuk rejeki,jodoh atau kesehatan. Tapi bunga ini hanya sarana karena kalau tidak berarti syirik,”katanya sembari menunjukkan tumpukan bunga kanthil yang diambilnya.
      Warga lainnya,Jarot mengatakan,ia berharap melalui bunga kanthil yang didapatnya dari petilasan,keluarganya terlindungi dari bahaya. “Saya hanya berharap agar keluarga saya selamat,”ujarnya sambil memunguti bunga kanthil.

(Laporan : Vrian Triwidodo)