Merana : Salah satu perajin tape di Wonoyojo sedang mengupas ketela. Bahan baku tersebut saat ini sulit diperoleh (foto/vree) |
Pusat pembuatan tape di Ds Wonojoyo Kec.Gurah Kab.Kediri diambang musnah. Pasalnya,sejak setahun terakhir,para pengrajin tape di desa itu kesulitan memperoleh ketela sebagai bahan baku. Selain itu,anak cucu mereka juga tidak ada yang berminat meneruskan usaha tersebut.
Di desa Wonojoyo,50 % warganya menggantungkan hidup dari usaha pembuatan tape. Usaha itu umumnya merupakan usaha yang ditekuni secara turun temurun. Salah satunya seperti Winarsih (45),istri Samsuri,salah satu pengrajin tape Wonojoyo. Menurutnya,sejak sebelum menikah,suaminya telah menekuni usaha pembuatan tape. Bahkan,tidak hanya suaminya,seluruh saudaranya juga menekuni usaha itu. “Usaha ini turun temurun. Dulu mertua saya juga bekerja sebagai pembuat tape. Saudara - saudaranya juga ikut punya usaha tape sampai sekarang”,katanya.
Winarsih menjelaskan,untuk membuat tape,ia dibantu 2 pekerja yang bertugas mengupas kulit ketela. Hasil tape olahannya itu kemudian dijual sendiri oleh suaminya ke sejumlah pasar tradisional di sekitar rumahnya. “Tiap hari,saya butuh 2 kuintal ketela untuk membuat tape. Untuk 1 kg ketela,kalau diolah bisa menghasilkan 6 ons tape. Hasilnya diangkut suami saya untuk dijual sendiri ke pasar”,imbuhnya,
Dari usaha tape buatannya itu,Winarsih bisa meraup untung yang cukup besar. Dalam sehari,ia bisa memperoleh keuntungan bersih,sebesar Rp 150 ribu. “Alhamdulilah,saya bisa menyekolahkan anak saya yang pertama sampai sarjana dan sekarang sudah menjadi guru”,tambah Winarsih.
Para pengrajin tape Wonojoyo memang sempat mengalami masa - masa keemasan. Saat itu,omset penjualan tape sangat tinggi. Bahkan,waktu itu,tape bisa dipasarkan sampai Surabaya dan daerah lain di Jawa Timur. Tape Wonojoyo juga sempat menembus penjualan di sejumlah pasar modern,bersanding dengan produk makanan olahan pabrik. Namun sekarang hal itu tidak terjadi lagi.
Setiti (60),pembuat tape mengatakan,sejak setahun terakhir,usaha pembuatan tape mulai mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan sulitnya mencari ketela sebagai bahan baku. “Dulu disini ada 10 penjual ketela,tapi sekarang tinggal 3”,ujarnya.
Berkurangnya jumlah penjual ketela ini,kata Setiti,terjadi karena minimnya pasokan. Dulu,ketela yang dijual di Wonojoyo,kebanyakan didatangkan dari wilayah Kab.Kediri sendiri,seperti Ngancar dan Semen. Tapi sejak satu tahun lalu,pasokan ketela hanya mengandalkan dari luar wilayah Kediri,seperti Nganjuk dan Malang. “Banyak yang sudah tidak menanam ketela,tapi tebu dan nanas”,kata Setiti.
Kondisi minimnya pasokan bahan baku ini,sangat menyulitkan para pengrajin tape. Pasalnya,kebutuhan ketela di Ds Wonojoyo sangat besar,mencapai 10 ton. Tidak heran,bila ada kiriman ketela,para pengrajin tapi langsung berebut membeli. Apalagi,kiriman ketela sering terlambat. Akibatnya,para pengrajin tape sering tidak dapat membuat tape. “Datangnya sering telat,seminggu hanya 3-4 kali. Itupun orang - orang langsung royokan biar kebagian”,imbuhnya.
Menurut Setiti,kondisi ini jauh berbeda dengan beberapa waktu lalu. Perempuan yang menekuni usaha pembuatan tape sejak tahun 1966 ini membandingkan,jika dulu dengan modal Rp 20 ribu,ia bisa meraih keuntungan sebesar Rp 15 ribu per kuintal,saat ini dengan modal Rp 100 ribu,keuntungan yang didapat hanya Rp 10 ribu per kuintal. “Sekarang banyak ruginya daripada untungnya”,katanya sambil tertawa.
Lain lagi cerita Painah (55). Perempuan yang juga menjadi pengrajin tape ini mengaku bingung siapa yang akan meneruskan usaha kelak. Pasalnya,dari 3 anaknya,tidak ada satupun yang mau melanjutkan usahanya tersebut. “Anak - anak malu,lebih baik cari kerja lain”,ujarnya. Akhirnya,ia terpaksa tetap bekerja sebagai pembuat tape,meski usianya sudah lanjut.
Mulai dari mengangkut ketela dalam jumlah besar dengan sepeda bututnya,mengupas kulit ketela hingga mencampur ketela dengan ragi untuk adonan,dilakoninya sendiri. “Semua saya kerjakan sendiri. Kalau tidak membuat tape,mau dapat uang darimana?”,kata Painah.
Tidak adanya proses regenerasi juga di keluhkan oleh Setiti. Dari 9 anaknya,tidak ada yang meneruskan jejaknya sebagai pembuat tape. “Mereka memilih pekerjaan lain. Katanya,kalau sudah tua baru mau membuat tape”,ujar Setiti.
Selain persoalan bahan baku dan masalah regenerasi,keberadaan pengrajin tape Wonojoyo semakin terhimpit karena kurangnya perhatian dari pemerintah daerah. Hingga saat ini,para pengrajin tape belum merasakan uluran tangan pemerintah untuk memperkuat basis usaha mereka. Sebenarnya,ketika tampuk kekuasaan masih dipegang oleh mantan presiden Soeharto,pemerintah pernah menggulirkan program pemberdayaan industri tape. Sayangnya,pelaksanaan program tersebut dipenuhi praktek korupsi. “Dulu sering ada pertemuan dan belajar ke luar kota. Tapi habis itu tidak ada kelanjutannya. Jadi akhirnya program itu sia - sia”,kata Painah.
Bahkan pengalaman pahit pernah dirasakan Setiti. Uang setoran untuk pembayaran kredit lunak yang diberikan pemerintah,dibawa kabur oleh ketua paguyuban pengrajin tape yang ditunjuk oleh pemerintah. “Uang saya dibawa lari ketuanya. Mesin - mesin untuk pengolahan makanan dari tape,juga dijual semua”,katanya.
Dari pengalaman itulah,para pengrajin tape Wonojoyo enggan untuk mendirikan paguyuban atau koperasi. Mereka tidak mau menjadi korban dari program - program pemberdayaan yang tidak jelas jluntrungnya. “Modal sendiri saja lebih enak. Tidak usah pakai kelompok atau koperasi”,kata Winarsih,salah satu pengrajin tape.
(Laporan : Vrian Triwidodo)