Bertahan : Suasana di salah satu toko baju bekas impor. Meski dilarang,omsetnya tetap tinggi (foto/vree) |
Pasar baju bekas impor di sepanjang Jl raya Gringging Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri seolah tidak pernah mati. Meski penjualan baju bekas impor sempat dilarang oleh pemerintah sekitar tiga tahun lalu,namun transaksi di deretan toko sepanjang jalan tetap saja berlangsung. Bahkan para pedagang mengaku penjualan mereka stabil.
Salah satu toko penjualan baju bekas impor yaitu toko Romansa milik Ny Bani. Usaha penjualan baju bekas itu telah dilakoninya sejak 10 tahun lalu. Dari tahun ke tahun,usaha itu semakin membesar. Bahkan jika awalnya,toko tersebut menjual baju bekas impor secara eceran,sekarang sudah berkembang menjadi grosir kecil. “Alhamdulilah,sekarang sudah berkembang seperti ini. Hasilnya sudah bisa untuk menyekolahkan anak hingga bangku kuliah,”kata Ny Bani.
Untuk memasok dagangan di tokonya,Ny Bani kulakan di grosir besar lokal sebanyak dua kali dalam seminggu. Tiap kulakan,ia mengambil barang sebanyak satu bal berisi antara 200 - 250 potong baju,tergantung jenisnya. Harga satu bal baju bekas impor berkisar antara Rp 1,5 juta - 2 juta. Baju - baju itu kemudian dijual dengan harga antara Rp 5.000 - 10.000 per potong. “Harga jualnya juga tergantung jenis dan bahan. Kalau bahannya tipis ya lebih murah,”imbuhnya.
Selama menjalankan usahanya 10 tahun terakhir,Ny Bani mengaku tingkat penjualan baju bekas impor stabil dan tidak pernah berubah. Dalam sehari,ia bisa menjual hingga 300 potong baju. Bahkan jika penjualan ramai,omsetnya bisa mencapai 500 potong per hari. Biasanya,puncak omset penjualan terjadi saat menjelang lebaran.
Namun ia mengakui,saat ini kualitas baju bekas impor tidak sebaik dulu. Jika beberapa tahun lalu,baju bekas yang diperolehnya benar - benar asli dari luar negeri,maka saat ini sudah banyak yang tercampur dengan baju bekas produksi lokal. Baju bekas yang sudah dioplos itu biasanya terlihat dari kualitas bahan dan kondisinya. Jika baju bekas benar - benar asli impor,kualitas bahannya kuat dan tampak bersih. Sebaliknya jika baju bekas produk lokal,lebih mudah rusak dan kotor. “Dulu masih sering ditemukan uang asing,seperti dolar atau yen di kantong baju. Tapi sekarang yang ditemukan hanya tisu,”ujarnya sambil tersenyum.
Disinggung tentang adanya larangan penjualan baju bekas impor oleh pemerintah,Ny Bani mengaku pernah mendengarnya. Menurutnya,sebagai warga ia hanya bisa pasrah jika larangan itu benar - benar diterapkan. Namun sampai sekarang,ia tetap meneruskan usahanya,karena ternyata pasokan masih lancar. “Saya tergantung grosir besarnya,kalau masih ada barang untuk kulakan ya tetap jualan baju. Tapi kalau memang benar - benar dilarang,saya siap mencari alternatif pekerjaan lain,”tandasnya.
Sementara itu,Wiko (40) salah satu pembeli mengaku senang membeli produk baju bekas impor. Selain harganya murah,biasanya merk baju bekas itu juga terkenal. “Saya lebih memilih beli di sini,karena murah dan bermerk,”ujarnya.
(Laporan : Vrian Triwidodo)